Senin, 19 Desember 2011 | By: RifkiArya

Indahnya Amanah-Mu






"Suatu hari aku ingin mengajarkan kepada Habibi putra semata wayangku yang baru duduk dikelas 3 SD untuk mengatur uang jajannya. Habibi kuberi uang Rp 35.000 perminggu. Biasanya uang tersebut kuberikan setiap hari sebelum berangkat sekolah.

Pada jum'at pagi aku dan Habibi hendak jalan-jalan ke alun2 untuk menikmati liburan, karena anakku sekolah di SD Islam liburnya hari jum'at dan akhirnya aku juga menyesuaikan libur kerja hari jum'at. Sebelum berangkat, tak lupa aku memberikan uang jajan mingguan Habibi dengan tiga lembar uang Rp 10.000 satu lembar Rp 5000. Dan uang tersebut disimpan rapi dalam saku celananya.
Ditengah keasikanku dan Habibi menikmati keramaian alun2 , tiba-tiba kami dikejutkan dengan kedatangan seorang kakek pengemis yang telah tua renta sambil memelas dan matanya juga buta.
Tak tega melihat sang kakek tua memelas, Habibi dengan sigap langsung mengeluarkan 3 lembar uang 10.000,- dan 1 lembar uang 5.000,- dari saku celana dan diberikan seluruhnya.

Kontan saja kakek pengemis ini terlihat sangat senang seraya mengucapkan rasa syukur dan terimakasih yang tak terkira kepada Habibi dan aku .
Setelah si kakek tua berlalu, kemudian aku bertanya;
“Sayang, kenapa kamu berikan semua uangmu untuk kakek itu? Bukankah satu lembar saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hingga nanti malam?”

“Mama...kalau kakek tua itu ikhlas menerima yang sedikit maka aku ikhlas untuk memberikan yang lebih besar!” Jawab Habibi dengan wajah tersenyum..

“Tek!!!” Hatiku langsung tersentak kaget mendengar jawaban tersebut.

“Nah, terus uang jajanmu untuk seminggu ke depan bagaimana?” Tanyaku mencoba menguji.

“Kan aku masih punya mama dan ayah! Tidak seperti kakek tua itu yang mungkin hanya hidup sebatangkara di dunia ini.” Balas anaknya.

“Kenapa kamu begitu yakin kalo mama dan ayah akan mengganti uang jajanmu? Mama nggak janji loh?” Kembali aku mengujinya.

“Kalo mama merasa bahwa aku adalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada mama dan ayah, maka aku sangat yakin mama dan ayah tak akan membiarkan aku kelaparan seperti kakek tua itu..” Jawab Habibi \=D/ •♍αϞŦάp•(y) sambil berlari memainkan bolanya.

Seakan aku tak percaya dengan jawaban dari Habibi hingga aku kehabisan kata-kata. Aku tak menyangka jawaban seperti itu keluar dari seorang bocah kelas 3 SD. Aku seperti sedang berhadapan dengan seorang yang lebih tua dari aku dan aku tak bernilai apa-apa ketika berada dihadapannya.

Lalu ku kejar Habibi dan kupeluk erat sambil ku ciumi...
“Sayang…mama dan ayah janji akan selalu menjaga dan merawatmu hingga Allah tetapkan batas umur ini. Mama sangat sayang padamu..” Sambil kedua mataku berkaca-kaca seolah tak kuat menahan tangis ini...

Sambil memandang dan menciumi pipiku,
“Mama tak perlu berkata seperti itu. Sejak dulu aku sudah tahu bahwa mama dan ayah sangat mencintai dan menyayangiku. Kelak jika aku sudah dewasa aku akan selalu menjaga mama dan ayah, dan aku tidak akan membiarkan mama dan ayah hidup dijalan seperti kakek tua itu…”

Dan airmataku tak terbendung lagi tangis ini mendengar jawaban tulus dari Habibi. Semakin ku dekap erat tubuh Habibi . Seperti kebiasaanku aku tidak suka melihat Habibi menangis...biasanya kusuruh dia menangis sambil tersenyum...kali ini Habibi yang memintaku begitu. Ya Allah...Ya Rabb...semoga aku bisa menjaga amanahmu ini. آمِّينَ يَ رَ بَّلْ عَلَمِيّنْ.

Sekelumit kisahku ini semoga mengajarkan kita tentang Keikhlasan.




Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Post Comment