Seorang ayah mesti menjadi pemegang keputusan yang ditaati dalam institusi rumah tangga. Tidak sepantasnya kita datang dan pergi, berbuat ini dan itu, sementara orangtua diacuhkan ibarat perabotan rumah; dibiarkan begitu saja tanpa pernah diajak bicara atau dimintai pendapat, dengan alasan bahwa kita tidak ingin mengusik dengan melibatkannya pada hal-hal yang bukan urusannya. Atau kita sengaja menyisihkan orangtua agar ia tidak terganggu. Dahulu, seorang penyair mengungkap kelemahan kabilahnya;
Persoalan diputuskan saat kabilah Taim tidak ada di tempat
Mereka tidak diajak berunding padahal mereka hadir
Taim adalah kabilah kecil yang dipandang sebelah mata oleh kabilah-kabilah lain. Ada dan tiada mereka sama saja. Orangtua tentu merasa amat menderita dan sedih, lebih dari apa yang dirasakan oleh kabilah Taim. Sebab yang menyisihkan dirinya adalah orang yang paling dekat di hati, yang tidak lain adalah sang anak di mana –barangkali– orangtua harus bersabar bertahun-tahun menantikan kelahiran anaknya, seraya memanjatkan doa kepada Allah dalam setiap salat dan saat melakukan ibadah haji! Allah swt berfirman,
Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. (al-Anbiyâ’ [21]: 89)
Tetapi ketika anak itu lahir dan tumbuh dewasa, ia mengeluarkan kalimat-kalimat yang menyakitkan, yang tidak pernah terbayang sekalipun dalam benak orangtua.
Penulis amat terkesan dengan kisah yang dituturkan oleh seorang tentara yang telah menjadi sahabat karib penulis selama bertahun-tahun. Saat ini ia berpangkat kolonel. Ia bertutur kepadaku;
“Aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu. Selama aku bekerja, tidak sekalipun aku menyimpan sendiri gaji yang aku dapatkan kecuali setelah aku berpangkat mayor.”
Aku penasaran dan bertanya padanya, “Mengapa?”
Ia menjawab, “Karena kami –empat bersaudara– sepakat untuk menyerahkan seluruh gaji yang kami dapat kepada ayah kami yang telah pensiun. Dialah yang mengatur kehidupan rumah tangga kami. Ayah kamilah yang membuatkan rumah dan membiayai pernikahan kami. Hingga suatu hari, ayah memanggil kami dan ia menyerahkan kepada setiap anaknya kekayaan yang tidak sedikit jumlahnya.
Ayah kami mengatakan, ‘Wahai anak-anakku, usiaku telah lanjut dan aku tidak lagi mampu mengurusi rumah tangga kalian. Harta yang aku serahkan ini adalah yang tersisa dari kekayaan yang selama ini kalian titipkan pada ayah. Aku telah membuatkan rumah dan menikahkan kalian. Selama ini aku tidak pernah lalai dalam mengurus kalian. Sekarang, biarkan aku memanfaatkan sisa umurku untuk ibadah!”
Saya menyela, “Tentu kalian merasa senang!”
Sahabatku melanjutkan penuturannya, “Siapa yang berkata demikian? Kami semua menangis. Air mata kesedihan tak tertahankan oleh kami. Kami merasa seolah-olah ayah mengucapkan selamat tinggal.” Beberapa tahun kemudian ayah tercinta kami wafat. Sepengetahuan saya, ia rida pada anak-anaknya dan mereka pun rida pada sang ayah.
0 komentar:
Posting Komentar
Post Comment