Di sebuah padepokan silat, terlihat banyak pendekar berlatih serius. Sang guru memperhatikan seorang murid berlatih serius. Jurus yang dilatih si murid semakin sempurna. Namun Si guru silat menyayangkan, si murid ini tidak bisa mengontrol emosinya. Si murid pemarah sering membuat celaka murid-murid lainnya. Pernah dalam sebuah latihan pertarungan, seorang murid lain mengalami luka serius karena ulah si murid pemarah ini. Emosinya sangat labil. Sedikit saja terpancing emosi, dia bertindak tidak terkendali. Alhasil, semua muridnya menjadi menjauh dari murid pemarah itu.
” Hei, muridku, kemari! Perintah si guru pada murid pemarah itu. Si murid pemarah datang menghadap dengan cepat dan duduk bersila di hadapan gurunya.
”Mau kuajarkan jurus melempar pisau ? Murid lainnya belum dapat. Hanya kau yang mau kuajarkan.”
”Tentu saja guru, aku merasa bangga dan terhormat.” Si murid pemarah tersenyum.
”Tapi ada syaratnya, kau mau memenuhinya?”
Si murid pemarah mengangguk.
” Setelah kuajarkan cara melempar pisau yang jitu, kau harus melakukan syarat ini setiap sore. Begini...saat kau marah, lemparkan satu kali pisau ke pohon mangga itu. Lalu kau cabut lagi pisau dari pohon mangga itu. Ingat, setiap lemparan tidak boleh mengenai sasaran yang sama. Bila kau tak dapat menancapkan pisau karena kemarahanmu dan di sasaran yang berbeda, maka aku takkan mengajarimu jurus lagi”
”Berapa kali aku harus melemparnya guru?” Tanya Si murid pemarah.
”Ya...setiap kali kau marah. Makin sering kau marah, makin banyak kau harus menancapkan pisau di batang pohon itu. Paham?”
”Paham guru.” Si murid mengangguk tanda paham dan setuju.
Hari pertama si murid telah menancapkan pisau sebanyak 20 kali. Hari kedua mulai berkurang menjadi 15 tancapan. Demikianlah jumlah lemparan pisau si murid pemarah makin hari makin berkurang, namun disisi lain jumlah lubang tancapan di pohon makin banyak. Si murid pemarah semakin sulit mencari sasaran. Maka agar ia masih dapat pelajaran jurus dari gurunya, dia mengurangi marahnya.
Sebulan berlalu, si murid tak lagi melempar pisau tiap sore. Dia senang karena tidak harus bersusah payah melempar pisau karena sasaran yang dituju semakin tinggi tingkat kesulitannya.
”Hei muridku, ikutlah denganku.” Si guru mengajak si murid pemarah ke arah pohon mangga.
”Apa yang kau lihat dari pohon mangga ini, muridku?”
Si murid pemarah heran. Luka bekas tancapan pisau di pohon mangga ini tidak terlihat lagi Padaha dua pekan lalu dia masih menancapkan pisau di batang pohon ini setiap sore.
”Luka bekas tancapan pisauku hilang guru, seperti tak ada luka apa pun di batan pohon ini.Dan lihat guru, buah mangganya tambah lebat” Si murid menjelaskan penglihatannya.
”Luka akibat tancapan pisaumu awalnya menimbulkan luka di batang pohon mangga ini. Pohon mangga menerimanya dengan lapang. Dia tidak membalas kemarahanmu dengan melawan dan mengeluh. Dia mengubah sakit yang diterimanya dengan menyembuhkan luka dan menghasilkan buah yang banyak. Kalau ia mencoba membalas dan melawan luka-luka itu, ia akan terganggu pertumbuhannya.” Si guru menjelaskan lebih lanjut.
”Begitu juga saat kau marah, muridku, emosimu terbakar, detak jantungmu tak teratur, pikiranmu kalut dan tubuhmu akan terganggu. Kau akan mengalami situasi yang tak menyenangkan, tidak normal dan ini sungguh menyiksa dirimu. Semakin kau lawan emosimu, makin keras tubuhmu bereaksi negatif sehingga sering kau merasakan sakit pada tubuhmu. Sebaliknya, saat kau memaafkan, jiwamu akan tenang, pikiranmu akan jernih dan tubuhmu akan semakin sehat. Orang yang kuat itu bukanlah yang selalu menang dalam bertarung, tapi yang mampu mengendalikan amarahnya”
”Benar guru, maafkan aku guru. Aku sekarang paham bahwa memaafkan bukanlah kekalahan justru sebaliknya ia adalah kemenangan. Aku akan belajar memaafkan dan berlapang dada mulai sekarang. Inilah ilmu yang paling kubutuhkan sebagai pendekar, guru”
Si guru tersenyum. Muridnya tidak lagi menjadi pemarah. Dia telah berhasil menyempurnakan ilmu raga dengan ilmu jiwa.